top of page
Search

Alergi Susu Sapi vs Intoleransi Laktosa

Updated: Nov 25, 2022






Susu merupakan salah satu jenis makanan yang umum dikonsumsi secara rutin oleh anak maupun dewasa karena bergizi, mudah dicerna, dan merupakan sumber kalsium. Akan tetapi pada beberapa anak, mengkonsumsi susu dapat menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan, yaitu reaksi alergi ataupun intoleransi laktosa.


Apa itu Alergi Susu Sapi dan Intoleransi Laktosa?

Alergi susu sapi merupakan salah satu alergi makanan yang paling sering ditemukan pada anak usia dini. Angka kejadian bervariasi pada negara berkembang dan maju, pada anak balita berkisar 1-10%, dan pada anak berusia >5 tahun sekitar 0.1-2.5%. Sedangkan intoleransi laktosa merupakan kondisi dimana tubuh tidak bisa mencerna laktosa. Laktosa sendiri merupakan salah satu jenis karbohidrat yang pada umumnya ditemukan pada susu, termasuk ASI. Di Indonesia, intoleransi laktosa cukup sering ditemukan. Pada tahun 2015, didapatkan kejadian pada usia 3-5 tahun mencapai 21.3%, usia 6-11 tahun didapatkan 57.8%, dan usia 12-14 tahun dapat mencapai 73%.


Apa penyebabnya?

Sesuai namanya, alergi susu sapi disebabkan oleh reaksi alergi terhadap beberapa jenis protein yang terkandung dalam susu. Beberapa protein yang telah diidentifikasi antara lain casein, β-lactoglobulin, dan α-lactalbumin. Reaksi alergi, pada dasarnya, merupakan suatu reaksi oleh sistem imunitas tubuh untuk menghancurkan benda asing yang masuk dalam tubuh. Meskipun protein-protein yang dapat menyebabkan reaksi ini sebagian telah diidentifikasi, tetapi alasan spesifik mengapa seseorang lebih sensitif terhadap hal ini masih belum diketahui dengan jelas. Faktor genetik diduga memiliki peranan pada hal ini. Faktor lain lagi adalah pemberian susu sapi yang terlalu cepat pada anak (sebelum usia 3-6 bulan). Hal ini diduga karena pada anak, terutama yang baru lahir, sistem imun dan mikroba saluran pencernaan belum matang sepenuhnya, sehingga pemberian susu sapi dapat menimbulkan reaksi alergi.

Intoleransi laktosa pada dasarnya disebabkan karena kekurangan enzim laktase, suatu enzim yang memecah laktosa menjadi bentuk yang dapat diserap oleh tubuh. Penyebab kurangnya enzim laktase dapat dikelompokan menjadi:

  • Kelainan kongenital : Tidak adanya aktivitas enzim laktase sejak lahir akibat suatu kelainan genetik. Intoleransi laktosa karena kelainan kongenital sangat jarang ditemukan

  • Intoleransi laktosa primer : Bentuk yang paling sering ditemukan, terjadi penurunan aktivitas enzim laktase seiring bertambahnya usia (biasa dimulai usia > 3 tahun) dan gejala bisa baru terlihat saat remaja/dewasa. Derajat penurunan laktase bervariasi, dipengaruhi oleh faktor genetik, metabolisme, dan kondisi mikroba usus.

  • Intoleransi laktosa sekunder : Penurunan produksi enzim laktase karena suatu kondisi medis yang menyebabkan kerusakan pada dinding usus, misalnya infeksi saluran pencernaan seperti gastroenteritis, atau infeksi parasit seperti cacing, kwashiorkor (malnutrisi berat akibat kekurangan protein), irritable bowel disease, dll.

  • Defisiensi laktase developmental : Intoleransi laktosa sementara yang biasa ditemukan pada bayi lahir prematur karena sistem pencernaan belum sempurna. Biasanya membaik seiring pertambahan usia


Apa gejala yang timbul? Apakah berbeda?

Gejala akibat alergi susu umumnya timbul dalam 1 minggu setelah konsumsi. Gejala yang timbul disebabkan oleh reaksi alergi yang menyebabkan peradangan pada saluran pencernaan, umumnya berupa mual, muntah, nyeri perut, dan diare yang dapat menyebabkan penurunan berat badan hingga malnutrisi. Selain itu, karena sistem imun bersirkulasi di seluruh tubuh, dapat timbul juga reaksi pada organ lain seperti timbul bintik kemerahan pada kulit, atau gangguan sistem pernapasan seperti bersin, batuk, hidung meler. Pada reaksi alergi berat dapat terjadi kondisi yang membahayakan nyawa seperti syok anafilaksis atau adanya pembengkakan pada saluran napas.

Pada intoleransi laktosa gejala yang timbul disebabkan oleh laktosa yang tidak dapat dicerna tubuh, dan keparahan gejala bergantung pada banyaknya laktosa yang dikonsumsi. Gejala biasa timbul dengan cepat, sekitar 30-60 menit setelah konsumsi produk mengandung laktosa. Keluhan yang sering ditemukan adalah diare disertai dengan nyeri perut, rasa kembung, dan banyak buang angin.

Secara sekilas, alergi susu dan intoleransi laktosa memiliki gambaran klinis yang mirip sehingga sulit dibedakan. Beberapa perbedaan yang dapat diamati adalah pada intoleransi laktosa gejala biasanya terbatas pada masalah di saluran pencernaan saja, sedangkan pada alergi susu dapat melibatkan organ/sistem lain. Selain itu, intoleransi laktosa lebih banyak ditemukan pada remaja dan dewasa, sedangkan alergi susu sapi lebih sering terjadi pada bayi dan balita.


Bagaimana Penanganannya? Apakah Dapat Dicegah?

Penanganan alergi susu sapi maupun intoleransi laktosa adalah dengan mengganti pola diet. Pada alergi susu sapi salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian susu asam amino/asam amino formula (AAF) atau susu khusus lainnya. Asam amino merupakan suatu bentuk protein yang dapat langsung diserap tubuh, sehingga diharapkan tidak menimbulkan reaksi alergi. Untuk penanganan gejala yang timbul dapat diberikan obat diare serta obat anti-alergi (anti histamin). Dari penelitian, pemberian ASI eksklusif dapat menurunkan risiko terjadinya alergi susu sapi.

Pada intoleransi laktosa, cara paling mudah adalah dengan menghindari produk yang mengandung laktosa. Susu hewani dapat diganti dengan produk susu yang berasal dari tanaman seperti susu kedelai. Namun metode ini sudah kurang direkomendasikan saat ini, karena susu hewani merupakan sumber kalsium utama untuk pertumbuhan tulang, terutama pada anak. Selain itu, dari hasil penelitian, para ahli menemukan bahwa pada umumnya orang dengan intoleransi laktosa, masih dapat mengkonsumsi sekitar 12-15 gram laktosa (sekitar 1-2 cangkir susu). Pemberian laktosa dalam jumlah kecil seperti ini juga dipercaya dapat meningkatkan toleransi seseorang terhadap laktosa. Opsi lainnya adalah dengan pemberian suplemen enzim laktase untuk membantu mencerna laktosa. Metode pencegahan lebih ditujukan pada intoleransi laktosa sekunder dengan cara menjaga higienitas makanan, serta mencuci tangan dan menjaga kesehatan mulut untuk mencegah infeksi.

Tentu saja, baik alergi susu sapi ataupun intoleransi laktosa, sebelum melakukan perubahan pola diet dan pengobatan gejala, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan dokter.



SUMBER

Flom, J. D., & Sicherer, S. H. (2019). Epidemiology of Cow’s Milk Allergy. Nutrients, 11(5), 1051. https://doi.org/10.3390/nu11051051 Rangel, A. H. do N., Sales, D. C., Urbano, S. A., Galvão Júnior, J. G. B., Andrade Neto, J. C. de, & Macêdo, C. de S. (2016). Lactose intolerance and cow’s milk protein allergy. Food Science and Technology, 36(2), 179–187. https://doi.org/10.1590/1678-457X.0019 Sackesen, C. (2019). Current Trends in Tolerance Induction in Cow’s Milk Allergy: From Passive to Proactive Strategies. Frontiers in Pediatrics, 7, 12. Vandenplas, Y. (2017). Prevention and Management of Cow’s Milk Allergy in Non-Exclusively Breastfed Infants. Nutrients, 9(7), 731. https://doi.org/10.3390/nu9070731 Hegar, B., & Widodo, A. (2015). Lactose intolerance in Indonesian children. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 24 (suppl 1), S31-S40 Heine, R. G., AlRefaee, F., Bachina, P., De Leon, J. C., Geng, L., Gong, S., Madrazo, J. A., Ngamphaiboon, J., Ong, C., & Rogacion, J. M. (2017). Lactose intolerance and gastrointestinal cow’s milk allergy in infants and children – common misconceptions revisited. World Allergy Organization Journal, 10, 41. https://doi.org/10.1186/s40413-017-0173-0 Micic, D., Rao, V. L., & Rubin, D. T. (2019). Clinical Approach to Lactose Intolerance. JAMA, 322(16), 1600. https://doi.org/10.1001/jama.2019.14740 Szilagyi, A., & Ishayek, N. (2018). Lactose Intolerance, Dairy Avoidance, and Treatment Options. 30.








100 views0 comments

Recent Posts

See All

Zinc

Post: Blog2_Post
bottom of page